Di ujung kampung, di mana jalan raya sibuk jadi perbatasan, warung kopi Warjo
berdiri setengah pasrah. Atap seng berlubang, dinding bambu miring—seolah
hanya menunggu waktu untuk menyerah pada gravitasi. Di bangku kayu yang
sama renta, Simin duduk, memutar cangkir kecil yang isinya cuma sisa ampas.
Angin jalan raya menghempas poster-poster kandidat kepala daerah yang
berkibar lemah, seperti janji-janji mereka yang tak pernah lebih berat dari kertas
itu sendiri.
“Ratu Adil pasti datang,” gumam Simin pelan. Ia tidak tahu apakah ia sedang
berbicara kepada Warjo, kepada dirinya sendiri, atau kepada kendi retak yang
berdiri di sudut warung, menampung sisa air hujan yang terus merembes keluar.
Warjo, yang sedang menyeduh kopi untuk dirinya sendiri, tertawa pendek. “Min,
Ratu Adil itu ya seperti kendi di warungku ini. Kamu isi air sepenuh-penuhnya, ya
bocor lagi. Sudah nggak bisa ditambal, tapi kamu kok masih percaya?”.
Simin bergeming. Ia hanya memandang kendi itu dengan tatapan yang jauh namun
kosong, seolah-olah benda itu adalah cermin dari dirinya sendiri. Barangkali
karena haus, atau sekadar tak sadar, Simin menenggak habis ampas kopi di
cangkirnya, seolah itu cairan termanis yang pernah ia cicipi.
Hari terakhir kampanye Pilkada tiba, riuh tapi hampa. Dari kejauhan, iring-iringan
mobil bak terbuka melaju, membawa suara toa melengking yang memuntahkan
janji-janji seperti serpihan kertas tak berarti, beterbangan mengikuti angin. Soraksorai
membelah jalan, namun gema kosongnya lebih keras daripada antusiasme
yang dipaksa ada.
“Hunian murah untuk semua!”
“Sekolah gratis sampai perguruan tinggi!”
“Kami akan mengendalikan harga sembako!”
“Kami akan membangun alun-alun di atas gunung, biar warga merasa dekat
dengan langit!”
Simin berdiri di bawah pohon asem, memperhatikan keramaian itu seperti seorang
yang memandangi layangan yang talinya putus. Layangan itu terbang tinggi,
menari di langit, tapi ia tahu tidak ada yang bisa mengembalikannya ke bumi.
“Janji-janji itu seperti layangan, Jo,” katanya kemudian kepada Warjo yang berdiri
di sebelahnya. “Bagus dilihat, tapi cuma buat mainan angin. Orang-orang kayak
aku ini cuma bisa nonton dari bawah.”
Warjo tertawa kecil, meski ada getir yang tak bisa ia sembunyikan. “Min, kenapa
kamu masih ikut-ikutan nyoblos? Kamu kan tahu sendiri, pilih siapa pun, ya tetap
gitu-gitu aja.”
Simin menghela napas. “Kalau aku nggak nyoblos, aku mau ngapain, Jo? Hidup ini
sudah seperti sawah yang banjir tiap musim hujan. Aku tetap nanam padi
meskipun aku tahu panennya bakal gagal. Kalau aku nggak nanam, aku cuma
duduk-duduk nunggu sawah itu jadi rawa.”
Hari itu akhirnya tiba. TPS dibuka, dan Simin menjadi salah satu yang pertama
datang, seperti seseorang yang ingin segera menyelesaikan sesuatu—meski ia
sendiri tak tahu apa yang hendak diselesaikan. Ia berdiri di dekat kotak suara,
memperhatikan satu per satu orang yang datang, dengan tatapan kosong seperti
seorang saksi pada adegan yang tak lagi menarik. Di sudut TPS, seorang lelaki
kurus terlihat sibuk menatap kotak suara. Senyum miring menghias wajahnya,
seolah menyimpan rahasia yang hanya ia nikmati sendiri, sementara suasana di
sekitarnya mengalir lamban, penuh basa-basi.
“Kamu nunggu siapa?” tanya Simin.
“Kotak kosong,” jawab lelaki itu dengan nada ringan.
“Kenapa kotak kosong?”
“Karena cuma kotak kosong yang nggak pernah bohong. Dia nggak janji apa-apa,
jadi dia nggak bisa salah.”
Simin tertawa kecil, tawa yang lebih mirip desah lelah daripada kegembiraan. Ia
tahu, ada benarnya apa yang dikatakan lelaki itu. Tapi apa bedanya? Kotak kosong
sekalipun tak akan menambal perahu bocor yang setiap hari ia kayuh di sungai
kehidupan ini. Ia akan terus mendayung, walau air merembes masuk, pelan tapi pasti menenggelamkan harapannya. Ia sadar, perahu itu tak akan pernah sampai tujuan. Malah, mungkin karam di tengah jalan, tanpa pernah ada yang peduli.
Syahdan, giliran Simin tiba untuk mencoblos, ia berdiri lama di bilik suara. Surat
suara di tangannya terasa seperti peta buta yang tidak menawarkan jalan keluar.
Nama-nama itu mengapung seperti bayangan di permukaan air keruh, tak pernah
tenggelam, tapi juga tak pernah benar-benar nyata.
Ia mencoblos salah satu nama, tanpa kebimbangan, tidak dengan keyakinan, tapi
dengan kebiasaan, seperti memilih lauk di warung yang sudah kehabisan pilihan.
Kali ini ia memilih yang wajahnya paling ganteng di poster, karena, pikirnya, kalau
sudah tidak bisa dipercaya, setidaknya enak dipandang. Pernah suatu kali ia
mencoblos yang cantik, tapi hasilnya sama saja—kecantikan itu hanya bertahan di
baliho, sementara setelah terpilih, wajah yang tersisa adalah tagihan-tagihan yang
makin mencekik.
Pernah juga ia mencoba mencoblos mantan artis, karena siapa
tahu kehidupan drama di layar kaca itu bisa membawa hiburan ke kehidupan
nyata. Tapi Simin segera sadar, yang namanya drama ya tetap drama: penuh
tangisan palsu dan adegan klimaks yang tak pernah selesai. Kali ini, ia tidak lagi
peduli latar belakang, visi-misi, atau janji-janji. “Ah! Yang penting fotonya nggak
nyengir terlalu lebay!” pikirnya sambil menghujamkan paku ke nama yang baginya
paling tidak menyebalkan.
Keluar dari bilik, ia kembali ke warung Warjo. Warjo sudah menunggunya di sana,
dengan kopi panas di tangannya. “Sudah selesai, Min?”
Simin mengangguk, wajahnya lelah. Langkahnya terasa berat, seperti petani yang
baru saja menanam di sawah yang ia tahu akan tergenang air lagi.
Warjo terkekeh sambil menawarkan rokok kretek. “Jadi gimana, Min? Kamu masih
percaya Ratu Adil bakal datang?”
Simin menatap kendi retak di sudut warung, seperti menatap hidupnya sendiri—
penuh celah, mengalirkan sisa-sisa harapan yang perlahan lenyap. Air di
dalamnya hampir tandas, bocor tanpa ampun melalui retakan kecil yang seolah
mencibir perbaikan. Ia menyunggingkan senyum samar, entah lahir dari sisa
keyakinan atau bara keputusasaan.
Dengan gerakan malas, ia menyambar sebatang kretek, menghisapnya dalam-dalam, lalu mengepulkan awan kelabu yang seperti menertawakan mimpi-mimpinya. “Kalau bukan kali ini, ya mungkin Pilkada depan. Atau setelah panen. Atau, ya entah kapan. Hari yang nggak bakal datang. Paling aku udah dikubur duluan.” Dan di ujung jalan, layangan tanpa tali terbang semakin jauh, hingga hanya terlihat sebagai titik kecil di langit kelabu.