Simin Menunggu di Ujung Jalan.Tapi Tak Ada Siapa-siapa yang Datang. Redaksi Biasmedia, November 25, 2024November 26, 2024 Di ujung kampung, di mana jalan raya sibuk jadi perbatasan, warung kopi Warjoberdiri setengah pasrah. Atap seng berlubang, dinding bambu miring—seolahhanya menunggu waktu untuk menyerah pada gravitasi. Di bangku kayu yangsama renta, Simin duduk, memutar cangkir kecil yang isinya cuma sisa ampas.Angin jalan raya menghempas poster-poster kandidat kepala daerah yangberkibar lemah, seperti janji-janji mereka yang tak pernah lebih berat dari kertasitu sendiri. “Ratu Adil pasti datang,” gumam Simin pelan. Ia tidak tahu apakah ia sedangberbicara kepada Warjo, kepada dirinya sendiri, atau kepada kendi retak yangberdiri di sudut warung, menampung sisa air hujan yang terus merembes keluar.Warjo, yang sedang menyeduh kopi untuk dirinya sendiri, tertawa pendek. “Min,Ratu Adil itu ya seperti kendi di warungku ini. Kamu isi air sepenuh-penuhnya, yabocor lagi. Sudah nggak bisa ditambal, tapi kamu kok masih percaya?”. Simin bergeming. Ia hanya memandang kendi itu dengan tatapan yang jauh namunkosong, seolah-olah benda itu adalah cermin dari dirinya sendiri. Barangkalikarena haus, atau sekadar tak sadar, Simin menenggak habis ampas kopi dicangkirnya, seolah itu cairan termanis yang pernah ia cicipi. Hari terakhir kampanye Pilkada tiba, riuh tapi hampa. Dari kejauhan, iring-iringanmobil bak terbuka melaju, membawa suara toa melengking yang memuntahkanjanji-janji seperti serpihan kertas tak berarti, beterbangan mengikuti angin. Soraksoraimembelah jalan, namun gema kosongnya lebih keras daripada antusiasmeyang dipaksa ada.“Hunian murah untuk semua!”“Sekolah gratis sampai perguruan tinggi!”“Kami akan mengendalikan harga sembako!”“Kami akan membangun alun-alun di atas gunung, biar warga merasa dekatdengan langit!” Simin berdiri di bawah pohon asem, memperhatikan keramaian itu seperti seorangyang memandangi layangan yang talinya putus. Layangan itu terbang tinggi,menari di langit, tapi ia tahu tidak ada yang bisa mengembalikannya ke bumi.“Janji-janji itu seperti layangan, Jo,” katanya kemudian kepada Warjo yang berdiridi sebelahnya. “Bagus dilihat, tapi cuma buat mainan angin. Orang-orang kayakaku ini cuma bisa nonton dari bawah.” Warjo tertawa kecil, meski ada getir yang tak bisa ia sembunyikan. “Min, kenapakamu masih ikut-ikutan nyoblos? Kamu kan tahu sendiri, pilih siapa pun, ya tetapgitu-gitu aja.” Simin menghela napas. “Kalau aku nggak nyoblos, aku mau ngapain, Jo? Hidup inisudah seperti sawah yang banjir tiap musim hujan. Aku tetap nanam padimeskipun aku tahu panennya bakal gagal. Kalau aku nggak nanam, aku cumaduduk-duduk nunggu sawah itu jadi rawa.” Hari itu akhirnya tiba. TPS dibuka, dan Simin menjadi salah satu yang pertamadatang, seperti seseorang yang ingin segera menyelesaikan sesuatu—meski iasendiri tak tahu apa yang hendak diselesaikan. Ia berdiri di dekat kotak suara,memperhatikan satu per satu orang yang datang, dengan tatapan kosong sepertiseorang saksi pada adegan yang tak lagi menarik. Di sudut TPS, seorang lelakikurus terlihat sibuk menatap kotak suara. Senyum miring menghias wajahnya,seolah menyimpan rahasia yang hanya ia nikmati sendiri, sementara suasana disekitarnya mengalir lamban, penuh basa-basi.“Kamu nunggu siapa?” tanya Simin.“Kotak kosong,” jawab lelaki itu dengan nada ringan.“Kenapa kotak kosong?”“Karena cuma kotak kosong yang nggak pernah bohong. Dia nggak janji apa-apa,jadi dia nggak bisa salah.” Simin tertawa kecil, tawa yang lebih mirip desah lelah daripada kegembiraan. Iatahu, ada benarnya apa yang dikatakan lelaki itu. Tapi apa bedanya? Kotak kosongsekalipun tak akan menambal perahu bocor yang setiap hari ia kayuh di sungaikehidupan ini. Ia akan terus mendayung, walau air merembes masuk, pelan tapi pasti menenggelamkan harapannya. Ia sadar, perahu itu tak akan pernah sampai tujuan. Malah, mungkin karam di tengah jalan, tanpa pernah ada yang peduli. Syahdan, giliran Simin tiba untuk mencoblos, ia berdiri lama di bilik suara. Suratsuara di tangannya terasa seperti peta buta yang tidak menawarkan jalan keluar.Nama-nama itu mengapung seperti bayangan di permukaan air keruh, tak pernahtenggelam, tapi juga tak pernah benar-benar nyata. Ia mencoblos salah satu nama, tanpa kebimbangan, tidak dengan keyakinan, tapidengan kebiasaan, seperti memilih lauk di warung yang sudah kehabisan pilihan.Kali ini ia memilih yang wajahnya paling ganteng di poster, karena, pikirnya, kalausudah tidak bisa dipercaya, setidaknya enak dipandang. Pernah suatu kali iamencoblos yang cantik, tapi hasilnya sama saja—kecantikan itu hanya bertahan dibaliho, sementara setelah terpilih, wajah yang tersisa adalah tagihan-tagihan yangmakin mencekik. Pernah juga ia mencoba mencoblos mantan artis, karena siapatahu kehidupan drama di layar kaca itu bisa membawa hiburan ke kehidupannyata. Tapi Simin segera sadar, yang namanya drama ya tetap drama: penuhtangisan palsu dan adegan klimaks yang tak pernah selesai. Kali ini, ia tidak lagipeduli latar belakang, visi-misi, atau janji-janji. “Ah! Yang penting fotonya nggaknyengir terlalu lebay!” pikirnya sambil menghujamkan paku ke nama yang baginyapaling tidak menyebalkan. Keluar dari bilik, ia kembali ke warung Warjo. Warjo sudah menunggunya di sana,dengan kopi panas di tangannya. “Sudah selesai, Min?”Simin mengangguk, wajahnya lelah. Langkahnya terasa berat, seperti petani yangbaru saja menanam di sawah yang ia tahu akan tergenang air lagi.Warjo terkekeh sambil menawarkan rokok kretek. “Jadi gimana, Min? Kamu masihpercaya Ratu Adil bakal datang?” Simin menatap kendi retak di sudut warung, seperti menatap hidupnya sendiri—penuh celah, mengalirkan sisa-sisa harapan yang perlahan lenyap. Air didalamnya hampir tandas, bocor tanpa ampun melalui retakan kecil yang seolahmencibir perbaikan. Ia menyunggingkan senyum samar, entah lahir dari sisakeyakinan atau bara keputusasaan. Dengan gerakan malas, ia menyambar sebatang kretek, menghisapnya dalam-dalam, lalu mengepulkan awan kelabu yang seperti menertawakan mimpi-mimpinya. “Kalau bukan kali ini, ya mungkin Pilkada depan. Atau setelah panen. Atau, ya entah kapan. Hari yang nggak bakal datang. Paling aku udah dikubur duluan.” Dan di ujung jalan, layangan tanpa tali terbang semakin jauh, hingga hanya terlihat sebagai titik kecil di langit kelabu. Hawa bias mediabiasmediacerpendinamikahawa