Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya biotik maupun abiotik, diantara hal tersebut terdapat salah satu kebudayaan atau tradisi yang menarik yaitu “Muro” yang berasal dari dari Nusa Tenggara Timur. Dijelaskan bahwa hal ini adalah bentuk praktik konservasi laut oleh masyarakat lokal di Lembata, sebuah pulau di bagian timur Indonesia. Muro, yang juga dikenal sebagai Badu, adalah istilah yang mengacu pada kawasan lindung di darat atau laut yang diatur oleh aturan dan ritual adat. Muro merupakan perwujudan dari kearifan lokal dan budaya yang bertujuan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan pesisir dan laut. Tulisan ini akan membahas tentang asal-usul, karakteristik, manfaat, dan tantangan Muro di Lembata, Nusa Tenggara Timur. Muro adalah tradisi yang lahir dari pencarian masyarakat adat khususnya di daerah hutan dan sekitarnya yang mengalami kekurangan bahan pangan akibat kekeringan di masa lalu. Tradisi ini diwariskan secara lisan dan masih dilestarikan hingga saat ini sebagai bagian dari hubungan masyarakat dengan alam dan leluhur. Tradisi ini dilakukan dengan memberikan zona tertentu di wilayah laut agar eksploitasi wilayah tersebut dapat terjaga. Dampak nyata yang dapat dirasakan adalah ketika zona tersebut dibuka kembali, pada waktu-waktu tertentu, tersedia cukup makanan dan biota laut yang dapat menyehatkan penduduk dan menghindarkan mereka dari kelaparan.
Tradisi ini juga memiliki arti penting karena mengajarkan masyarakat tentang konsep keberlanjutan pangan yang berakar pada budaya lokal. Jika masyarakat modern tidak peduli atau melepaskan tanggung jawab mereka terhadap ketersediaan pangan, di sisi lain muro adalah antitesis dari masyarakat modern tersebut. Muro menyediakan dan memberikan fasilitas bagi masyarakat Lamaholot untuk terus menggantungkan hidup mereka kepada alam dengan penuh tanggung jawab. Tradisi ini menjadi pelajaran penting tentang nilai luhur hubungan manusia dengan alam yang patut dipelajari dan dikembangkan menjadi program konservasi dan pengembangan kapasitas masyarakat di daerah lain di Indonesia.

Tulisan ini akan mencoba menguraikan secara teknis tradisi muro dan bagaimana hal tersebut menyelamatkan masyarakat hutan dari bencana kelaparan dan bagaimana muro dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat di wilayah lain di Indonesia untuk menjaga alam. Kemudian tradisi muro dibagi dalam tiga hal, pencaharian. Muro menerapkan sistem zonasi yang membagi wilayah laut menjadi tiga zona: Tahi Tubere atau Jiwa Laut (Zona Inti), Ikan Berewae atau Ikan Perempuan (Zona Penyangga), dan Ikan Ribu Ratu atau Ikan untuk Umum (Zona Pemanfaatan). Setiap zona memiliki aturan dan larangan yang berbeda mengenai kegiatan penangkapan ikan dan jenis alat tangkap. Zona Inti adalah area yang paling sakral dan terlarang, di mana tidak ada kegiatan penangkapan ikan. Zona Penyangga diperuntukkan bagi perempuan dan anak-anak yang hanya boleh menggunakan alat tangkap tradisional. Zona Pemanfaatan terbuka untuk semua orang yang dapat menggunakan berbagai metode penangkapan ikan, tetapi hanya pada waktu dan musim tertentu.
Muro juga melibatkan berbagai ritual yang menandakan rasa hormat dan terima kasih masyarakat setempat kepada para leluhur dan alam. Ritual-ritual tersebut meliputi Sumpah Adat di Namang (tempat suci di mana orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal bertemu), Nading (tanda yang menandakan bahwa laut ditutup atau dibuka untuk menangkap ikan), Balela (penanda batas untuk Muro), dan Bedu (upacara untuk membuka atau menutup Muro). Muro dilegitimasi oleh lembaga adat dan formal. Masyarakat setempat memiliki pemimpin adat mereka sendiri, seperti Kapitan Sari Lewa (Penjaga Laut), yang bertanggung jawab untuk menegakkan dan memantau Muro. Muro juga diakui dan didukung oleh pemerintah melalui dokumen hukum, seperti SK Gubernur Nusa Tenggara Timur No.192/KEP/HK/2019 tentang Kawasan Konservasi Perairan di Kabupaten Lembata dan Kepmen KKP No.95/2021 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Kabupaten Lembata.
Muro lembata nusa tenggara timur memiliki banyak manfaat bagi aspek ekologi, ekonomi, dan sosial bagi masyarakat lokal dan lingkungan laut. Secara ekologis, Muro berkontribusi pada konservasi dan restorasi keanekaragaman hayati laut dan fungsi ekosistem. Dengan membatasi atau melarang kegiatan penangkapan ikan di area dan waktu tertentu, Muro memungkinkan stok ikan untuk pulih dan berkembang biak. Muro juga melindungi habitat penting lainnya, seperti hutan bakau, terumbu karang, dan padang lamun, yang menyediakan tempat berlindung, makanan, dan tempat pembibitan bagi berbagai spesies laut. Secara ekonomi, Muro meningkatkan mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya laut.

Dengan meningkatkan kelimpahan dan keanekaragaman ikan, Muro meningkatkan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) dan pendapatan para nelayan. Muro juga menciptakan sumber pendapatan alternatif, seperti ekowisata, kerajinan tangan, dan budidaya rumput laut. Secara sosial, Muro memperkuat kohesi sosial dan pemberdayaan masyarakat lokal yang berpartisipasi dalam mengelola Muro. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti pemuka adat, nelayan, perempuan, pemuda, pejabat pemerintah, LSM, dan peneliti. Muro memupuk kolaborasi, komunikasi, kepercayaan, dan rasa saling menghormati di antara mereka. Muro juga melestarikan dan mempromosikan budaya dan identitas lokal yang tertanam di Muro.
Namun, Muro lembata nusa tenggara timur bukannya tanpa tantangan. Terlepas dari tradisi dan budayanya yang sudah berlangsung lama, Muro menghadapi berbagai ancaman dan kendala yang membahayakan masa depannya. Beberapa tantangan ini berasal dari luar, seperti perubahan iklim, bencana alam, polusi, penangkapan ikan secara ilegal, pertumbuhan penduduk, tekanan pembangunan, permintaan pasar, dan ketidakkonsistenan kebijakan. Faktor-faktor eksternal ini dapat berdampak negatif terhadap lingkungan laut dan masyarakat lokal, seperti degradasi lingkungan, penipisan sumber daya, konflik, dan kemiskinan. Beberapa tantangan ini bersifat internal, seperti kurangnya kesadaran, pengetahuan, keterampilan, sumber daya, partisipasi, koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan penegakan hukum. Faktor-faktor internal ini dapat menghambat pengelolaan Muro yang efektif dan efisien, yang mengarah pada ketidakpatuhan, salah urus, korupsi, dan ketidakpuasan. Oleh karena itu, Muro di lembata membutuhkan lebih banyak dukungan dan kolaborasi dari berbagai aktor dan sektor, seperti pemerintah, LSM, peneliti, dan pemangku kepentingan lainnya, untuk mengatasi tantangan-tantangan ini dan untuk meningkatkan efektivitas dan keberlanjutannya.