Desa itu, seperti kendi retak yang menahan airnya sendiri. Di bawah terik matahari, tanahnya pecah-pecah, menyimpan genangan dari hujan yang hanya sesekali mampir. Dari jauh, kota besar berdiri sombong dengan cakar-cakar baja yang mencakar langit. Namun, jarak itu seperti dua dunia yang tak pernah berjabat tangan. Desa hanya punya pohon asem tua di lapangan, lampu petromaks di
sudut-sudut rumah, dan warung kopi Warjo yang jadi tempat segala wacana dimulai—dan berakhir.
Simin duduk di bangku kayu reyot, menggoyang-goyangkan cangkir kopi sambil memainkan rokok kretek yang tinggal sebatang. Ia tidak minum, hanya mengamati ampas yang sudah pasti pahit. Di hadapannya, Warjo duduk diam, memandang jalan tanah merah yang selalu licin kalau hujan datang. Sisa-sisa spanduk kampanye Pilpres dan Pilkada memudar melambai malas di ujung lapangan, janji – janji yang tinggal bekas tinta di kain.
“Jo,” kata Simin tiba-tiba, “kalau aku jadi Kepala Desa, aku bakal bikin aturan. Siapa yang bikin janji kampanye harus bikin nisan buat janji-janji yang mati duluan.”
Warjo tertawa, tawanya serak seperti bunyi engsel pintu. “Kalau kamu jadi Kepala Desa, Min, aku bakal bikin warung ini jadi museum. Supaya orang tahu, kopi pahit selalu lebih jujur daripada politik.”
Simin tersenyum tipis. Ia tahu, wacananya itu cuma bahan olokan. Tapi siapa sangka, dari wacana kecil yang dilempar asal, angin membawanya jauh. Kampung itu punya mulut-mulut kecil yang sibuk berbicara. Dari mulut ke mulut, guyonan Simin soal Kepala Desa berubah menjadi perbincangan serius.

Di sudut sudut jalan, di sawah, di pinggir sungai, orang-orang mulai bicara: “Simin mau nyalon, katanya.” Ada yang menganggap serius, ada yang menganggap itu lelucon. Tapi seperti semua hal di desa, tidak ada yang dianggap biasa saja. Wacana itu menyebar seperti asap dapur yang merambat tanpa diundang.
Di pos ronda, di sawah, bahkan di pengajian ibu-ibu, nama Simin mulai disebut-sebut.
“Dia kan sarjana, siapa tahu bisa bikin desa ini maju,” kata seorang petani, Simin dan Wacana Kepala Desa 2 setengah bercanda, setengah berharap. Tapi tidak semua tanggapan sehangat itu. Ada yang menganggapnya lelucon, seperti si Parmin yang nyeletuk di warung, “Simin jadi Kepala Desa? Itu sama aja ngangkat kendi retak buat jadi gayung.”
Namun, desa punya kebiasaan aneh. Ketika sesuatu yang absurd dibicarakan cukup lama, absurditas itu berubah jadi kemungkinan. Orang-orang mulai mendekati Simin, bukan karena percaya pada visi atau janji-janji yang ia tak pernah buat, melainkan karena dia berbeda: seorang sarjana di antara mereka
yang terbiasa memandang pendidikan sebagai kemewahan. “Paling nggak, dia bisa baca undang-undang,” ujar salah satu warga, seolah itu kriteria cukup untuk jadi pemimpin.
“Min,” kata Warjo suatu siang, “banyak yang bilang kamu mau jadi Kepala Desa.” Simin mendengus. “Wacana, Jo. Cuma wacana.” “Tapi orang-orang percaya.” “Itu masalah mereka,” jawab Simin santai, lalu tertawa. Tawa yang lebih terdengar seperti pembelaan diri. Namun, jauh di dalam, Simin mulai tergoda. Apa jadinya kalau ia benar-benar mencoba? Ia tahu desa ini terlalu rusak untuk diperbaiki. Sistemnya seperti perahu bocor yang terus didayung tanpa tahu ke mana tujuannya. Tapi godaan itu ada, menyelinap seperti angin dingin di malam hari.
Malam itu, warung kopi Warjo kosong. Hanya ada Simin dan Warjo, ditemani petromaks yang berkelap-kelip seolah ragu. Warjo menyalakan rokoknya, mengisap dalam-dalam sebelum berbicara.
“Min, aku serius,” katanya pelan. “Kalau kamu mau nyalon, aku bantu. Tapi kalau cuma mau ngomong doang, mending berhenti sekarang.” Kata-kata itu menghantam Simin lebih keras dari yang ia duga. Ia tidak menjawab, hanya diam memandangi genangan kopi di cangkirnya.
Ia tahu Warjo benar. Tapi apa ia benar-benar bisa? Apa ia punya keberanian untuk melawan siklus yang terus menggilas desa ini?
Malam itu, Simin berjalan pulang melewati jalan desa yang gelap. Lampu-lampu tua di sepanjang jalan berkedip seperti hidupnya sendiri—ragu antara menyala atau padam. Pikiran-pikiran berkelindan, tapi satu hal yang ia tahu pasti: desa ini Simin dan Wacana Kepala Desa 3 butuh perubahan. Pertanyaannya, apakah ia orang yang tepat untuk melakukannya?
Esok harinya, Simin kembali ke warung Warjo dengan rokok di tangan. Wacana soal pencalonannya masih jadi bahan perbincangan. Orang-orang menunggu langkahnya, tapi Simin tetap diam. “Jo,” katanya pelan, “aku pikir-pikir, jadi Kepala Desa itu nggak ada bedanya sama ngatur air sawah. Banjirnya nggak pernah surut, cuma dipindah-pindah.” Warjo mengangguk, lalu bertanya, “Jadi gimana? Kamu mundur?” Simin tersenyum tipis. “Mundur dari mana, Jo? Aku bahkan belum mulai apa-apa.”
Hari itu, Simin, S.Pd.—yang pernah jadi guru honorer tapi banting setir untuk jadi petani—pergi ke sawah. Bukan untuk bertani, tapi untuk memandangi tanah yang retak. Langit gelap, hujan mungkin akan turun. Tapi Simin tahu, genangan itu akan tetap ada, mengisi retakan yang sama. Di warung Warjo, kendi retak masih berdiri di sudut, meneteskan air perlahan. Dan di sudut warung itu, seorang pemuda bertanya pada Warjo, “Benar, ya, Simin mau jadi Kepala Desa?” Warjo hanya tertawa, tawa yang pahit seperti kopi. “Tanya aja sama dia. Tapi
jangan heran kalau jawabannya cuma wacana.”